PERSIB, bukan sekadar nama klub sepakbola. Bagi saya secara pribadi, PERSIB merupakan semangat karena setiap aksi PERSIB seringkali memancing reaksi yang melibatkan evaluasi empiris dan emosional—sebaiknya libatkan evaluasi logis yang sayangya sebagian besar hanya dimiliki oleh orang-orang yang paham dan mahfum dengan sepakbola.
Saya coba mengambil tiga kata kunci dari definisi tersebut–reaksi, empiris (pengalaman dan logika), dan emosional—yang mau tidak mau ternyata menjadi “intervensi halus” yang dilakukan oleh (bisa jadi) manajemen, pemain, dan bobotoh itu sendiri terhadap PERSIB (dalam hal ini diwakili oleh Pelatih yang dengan visi dan misinya menakar arah PERSIB ke jalur yang lebih baik; tidak satu pun pelatih yang ingin menjerumuskan timnya).
“Intervensi halus” ini menjadi salah satu motivasi saya dalam menulis artikel ini, selain fakta dinamika pembentukan tim PERSIB itu sendiri sebagaimana tertuang di berbagai media, cetak atau pun elektronik. Mulai dari geregetnya penentuan asisten pelatih, perhatian para mantan PERSIB yang menganggap bahwa manajemen “kurang mampu” membawa PERSIB ke arah yang benar (menurut pandangan mereka), pemain muda yang ingin jam terbang lebih, keputusan tidak diperpanjangnya kontrak 4 pemain asing yang merasa memiliki ikatan emosional dengan bobotoh, pemain senior yang belum ada kepastian, pemain buruan yang masih dirahasiakan, hingga keinginan bobotoh yang terkadang tidak sejalan perihal perekrutan pemain.
Saya yakin, semua itu muncul dengan satu motif, yaitu rasa cinta terhadap PERSIB. Artinya, semua pihak yang memberikan reaksi kepada PERSIB adalah pihak-pihak yang mengaktualisasikan rasa cintanya dengan cara mereka masing-masing, cara yang yang didorong oleh rasa memiliki, perhatian, dan kepedulian. Cara yang menurut takaran mereka adalah hal yang sebaiknya dilakukan untuk kebaikan PERSIB, dengan kemungkinan bahwa cara tersebut bisa jadi menghasilkan keluaran yang tidak benar di kemudian hari. Dapat dikatakan, keluaran/hasil ini merupakan muara dari ragam cara dan ekspresi dari pihak-pihak yang mengatulisasikan rasa cintanya bagi PERSIB. Meski begitu, dari beberapa cara tersebut ternyata secara tidak sadar itu merupakan intervensi. Setidaknya ada 3 pihak yang saya anggap melakukan intervensi kepada PERSIB (urutan tidak menunjukkan peringkat).
Yang pertama, intervensi datang dari pihak manajemen. Meski saya sendiri tidak begitu puas dengan beberapa hal dalam manajemen PERSIB jika berkaca dari hasil beberapa musim yang lalu, saya tidak ingin terjebak dengan menyudutkan kinerja manajemen di musim lalu (sekali lagi saya tegaskan bahwa apa pun yang dilakukan manajemen di musim lalu, itu merupakan cara yang dalam takaran mereka merupakan hal yang sebaiknya dilakukan untuk PERSIB, dan ini tentunya dilandasi oleh visi untuk membawa PERSIB ke arah yang lebih baik).
Secara singkat, manajemen musim lalu tampaknya terlalu reaktif; hal ini karena dilandasi ikatan emosi dan pengalaman tanpa dibarengi kesabaran ketika melihat PERSIB keteteran, reaksi yang tampaknya kurang didasari pemahaman mendalam bahwa kebaikan sebuah tim tidak bisa diperoleh secara instan. Oleh karena itu, silahkan semua pihak yang berbagi informasi mengenai kinerja manajemen di musim lalu memberi penilaian tersendiri terhadap kinerja manajemen.
Oleh karena itu juga, saya tidak akan berbicara banyak mengenai apa yang dilakukan pelatih dan manajemen saat ini karena sikap ini saya anggap sebagai bukti dukungan saya kepada PERSIB, yang diwakili oleh manajemen dan tim pelatih (manajemen sudah menyerahkan pengurusan teknis kepada tim pelatih). Saya ingin pihak-pihak yang mendukung PERSIB juga sabar dan sadar bahwa manajemen pasti bekerja berdasarkan pengalaman setelah berkali-kali mengalami “hasil yang kurang menggembirakan” di musim lalu, tanpa ada harus tekanan berlebih dari orang-orang yang mengaku cinta PERSIB. Saya yakin, manajemen belajar dari pengalaman yang tidak menyenangkan dan saya juga yakin manajemen juga cinta pada PERSIB dan ingin PERSIB menjadi yang terbaik (lagi) di Indonesia, bahkan Asia.
Saya juga yakin manajemen bukanlah orang-orang yang ingin menghancurkan PERSIB, hanya sudut pandang kita dalam mencintai PERSIB lah yang berbeda, perlakuan kita terhadap PERSIB lah yang berbeda, sehingga dari perbedaan ini lah PERSIB mulai bimbang dan mempertanyakan “cinta” kita. Sekali lagi, PERSIB adalah semangat, PERSIB adalah jiwa. Secara sederhana, cintailah PERSIB seperti kita mencintai pasangan atau anak kita; penuh pertimbangan demi kebaikan mereka di masa mendatang, kadang tidak baik tapi benar, dan kadang kita harus menahan perasaan untuk kebaikannya.
Sekarang saya coba menakar kembali ketiga kata kunci yang telah disebutkan; reaksi, empiris, dan emosional. Tiga hal ini lah yang jika diperhatikan menjadi perlakuan mendasar para pecinta PERSIB.
Intervensi kedua datang dari pemain–yang secara tidak sadar menggunakan ketiga kata kunci tersebut—dalam melakukan “intervensi” terhadap pelatih. Beberapa pemain bereaksi terhadap keputusan pelatih jika jarang dimainkan. Mereka merasa tidak diberi kesempatan dan kepercayaan (padahal kesempatan bergabung bersama PERSIB itu sendiri sudah melebihi kebanggaan tersendiri dan kepercayaan yang luar biasa dari PERSIB, apalagi bagi pemain yang dibesarkan oleh PERSIB) untuk memberikan yang terbaik—menurut mereka—bagi PERSIB. Perlu disadari bahwa pelatih lebih tahu kepentingan tim, pelatih juga tahu ini mungkin tidak baik buat mereka tapi ini lah yang benar—dalam pandangan profesionalnya—untuk PERSIB. Jadi ketika pemain mulai bereaksi terhadap keputusan pelatih, terlebih reaksi tersebut kadang menjadi bahan pemberitaan media. Sekali atau dua kali mungkin tidak menjadi masalah, tapi jika berkali-kali,…?
Kita bisa menebak reaksinya. Bisa jadi, dari sini lah “keajaiban” reaksi tersebut dimulai, media menjadi sarana pemain menyampaikan keluh kesah yang berakibat pada sebuah pemikiran yang bisa muncul dalam benak pelatih bahwa dia ternyata tidak dipercaya oleh pemainnya, dia merasa bahwa entah bagaimana dia harus bisa mewadahi keinginan ini karena jika tidak, dia akan dianggap tidak membawa PERSIB ke arah yang diinginkan oleh beberapa pihak. Ada baiknya jika pemain merasa keberatan dengan keputusan pelatih, yang bersangkutan bisa langsung berbicara kepada pelatih. Saya yakin pelatih punya alasan yang jelas, logis, objektif, dan bertanggung jawab karena menakarnya dari sudut pandang profesionalismenya.
Tapi jika opini pemain telah menjadi bahan media, interpretasi pembuat berita bisa jadi berbeda karena (mungkin) pembuat berita juga memiliki sudut pandang tersendiri mengenai opini tersebut. Sehingga, secara tidak sadar idealisme pembuat berita juga masuk dalam opini pemain yang bersangkutan. Di sisi lain, kita juga bisa memahami keinginan pemain tersebut merupakan bukti kecintaannya terhadap PERSIB karena dia merasa punya pengalaman tersendiri tentang bagaimana dia bisa memberi sumbangsih bagi PERSIB, yaitu dengan “bermain” untuk PERSIB.
Sebenarnya, “bermain” untuk PERSIB itu sendiri bisa diartikan sebagai bagaimana setiap elemen dalam PERSIB memerankan bagiannya demi kepentingan PERSIB. Secara sederhana, ketika beberapa pemain tidak dimainkan secara reguler, artinya bahwa dia sedang memainkan peran untuk memberikan jaminan pada para pemain lain bahwa jika mereka tidak dapat bermain karena satu dan lain hal, pelatih akan selalu punya pilihan untuk tetap menjalankan kepentingan PERSIB. Segi inilah yang menurut saya kurang disadari oleh pemain yang mengaku sebagai pemain professional di PERSIB.
Kecintaannya terhadap PERSIB telah membuat PERSIB bimbang. Ini bukanlah bentuk kecintaan yang seharusnya diperlihatkan oleh pemain—terutama binaan PERSIB. Jadi tidak usah memikirkan pemain yang memang tidak loyal terhadap PERSIB, meski mereka merupakan binaan PERSIB, binalah pemain yang dalam pandangan profesionalnya memegang prinsip loyalitas yang tidak bisa diukur dari besaran nilai kontrak atau pun jaminan “bermain” reguler.
Coba kita bayangkan jika semua pemain ingin dimainkan secara reguler. Pelatih akan sangat bingung siapa yang akan menjadi pemain “pendukung”, siapa yang akan menjadi starting eleven, dan apa yang akan terjadi jika saya tidak memenuhi keinginan mereka?. Kebingungan pelatih ini lah yang bisa dikatakan menjadi sebuah bentuk intervensi secara tidak langsung.
Terakhir, meski berat mengatakannya, adalah bobotoh, pendukung terhebat yang pernah ada, yang dengan fanatismenya selalu menghidupkan PERSIB, pendukung yang paling setia, tidak pernah selingkuh. PERSIB adalah harapan mereka untuk mempertahankan semangat, kemenangan PERSIB akan membawa berkah bagi banyak pihak karena dengan semangat kemenangan itu lah bobotoh secara tidak langsung menggerakkan perekonomian masyarakat kecil.
Pedagang koran eceran menerima dampak nyata dari hal ini, bagaimana mereka kekurangan jumlah eksemplar karena bobotoh tidak sabar untuk membaca ulasan, eforia, dan hegemoni pertandingan kemarin. Bagaimana bobotoh begitu bersemangat menjalani aktivitas mereka karena memiliki pandangan emosional untuk menceritakan kemenangan PERSIB di pertandingan kemarin.
Meski demikian, hal sebaliknya bisa terjadi jika PERSIB kalah dalam sebuah pertandingan. Jangankan membeli koran, membaca ulasan pertandingan pun rasanya tidak menyenangkan, bahkan kita kadang menjadi sensitif dalam beraktivitas terlebih jika ada rekan kerja yang membahas kekalahan PERSIB. Sebuah perasaan yang luar biasa, semangat yang mampu menggerakkan emosi setiap individu pada satu kesamaan, dan PERSIB menjadi muara emosi dari seluruh bobotoh.
Yang tetap bertahan dari dinamika emosional bobotoh adalah meski PERSIB membawa mereka pada harapan yang meninggi dan kesedihan yang mendalam, mereka tidak pernah berpikir untuk mendukung tim lain di Indonesia ini—ini yang saya sebut sebagai pecinta yang tak pernah selingkuh. Loyalitas tanpa batas meski tidak diwadahi sebagai salah satu organisasi profesi. Tidak perlu professional, ikhlas dan sabar menjadi modal utama. Bobotoh is the best, ever.
Meski begitu, karena didorong oleh sense of belonging yang begitu tinggi terhadap PERSIB, beberapa bobotoh merasa memiliki pandangan bahwa PERSIB harus dijalankan seperti ini atau seperti itu. Misal, dalam hal perekrutan pemain, bobotoh merasa bahwa beberapa pemain tidak seharusnya tidak diperpanjang kontraknya atau “kenapa pemain ini yang direkrut, dia kan tidak bagus”. Atau ketika bobotoh merasa pelatih tidak bagus dalam meramu tim, ketika PERSIB dikalahkan tim lain, atau ketika pelatih tidak memainkan pemain yang mereka anggap sebaiknya/seharusnya dimainkan.
Hal-hal semacam ini lah yang menurut saya berujung pada intervensi terhadap kewenangan pelatih dalam menentukan arah PERSIB. Atau bagaimana bobotoh berpendapat bahwa pemain tertentu tidak bermain sepenuh hati, meski memang tampaknya iya. Tetap saja ini merupakan jenis intervensi terhadap pilihan pelatih dan menjadi beban tersendiri terhadap pemain yang bersangkutan karena merasa tidak dipercayai. Saya tetap yakin bahwa tidak satu pun pemain—di klub mana pun—yang ingin membawa timnya menjadi hancur, hanya saja mungkin karena beberapa elemen yang tidak memainkan perannya sesuai kewenangan yang membuatnya dalam posisi ini.
Sebagai simpulan, reaksi manajemen dan tim pelatih, reaksi pemain, dan reaksi bobotoh malah menjadi aksi yang (mungkin) tidak melalui tahap evaluasi mendalam sehingga malah menjadi bumerang bagi PERSIB itu sendiri. Kembali, menyongsong musim baru harapan tinggi dan doa tulus saya panjatkan demi PERSIB, namun kesadaran tinggi juga saya sertakan seandainya harapan saya tidak terwujud. Apapun itu, PERSIB akan tetap menjadi harapan saya. Stop intervensi, sampaikan kritik dan saran secara bijak, proporsional, dan sistematis; kurangi sebaran informasi yang tidak penting bagi PERSIB baik dari jumlah atau pun media informasinya.